MENGALAH TAPI TAK KALAH
Petang itu,
tepatnya tanggal 24 oktober 2012 iqomah sholat isya berkumandang dari masjid
dekat tempat tinggalku. Kupercepat langkahku menuju masjid dengan maksud
mendapatkan barisan terdepan dalam shalat berjama’ah, namun ternyata barisan terdepan
sudah penuh. Kurapatkan diri pada barisan kedua dan berusaha larut dalam
nikmatnya shalat kala itu. Nampaknya ada sesuatu yang berbeda dari shalat
berjamaah kali ini, bedanya berasal dari salah seorang jamaah yang masih
terlihat muda yang mengeraskan sedikit suaranya ketika imam membaca “Sami
Allahu liman hamidah”. Imam kami kala itu membaca “Sami Allahu liman hamid”
dalam artian kurang lengkap. Selama empat rakaat imam itu membaca bacaan yang
sama dan sedetik kemudian terdengar suara pemuda itu sedikit mengeraskan
suaranya dengan bacaan yang lengkap dengan maksud meluruskan bacaan imam dan
kami pun sebagai jamaah tahu bahwa si pemuda itu berniat meluruskan bacaan imam.
Setelah shalat,
terdengar salah seorang jamaah bagian depan mengeluarkan suara dengan sedikit
keras kepada pemuda tersebut “kalau berbeda pendapat, jangan seperti itu
caranya menyampaikan”, hingga kami pun sedikit terkejut dengan tingkah jamaah
yang satu ini. Salah seorang jamaah yang oleh jamaah lain sering dipanggil
Puang ini dikenal sebagai orang yang “di-tua-kan” di masjid tersebut karena ia
ketua pembangunan masjid dan memang umurnya yang tua juga ikut mendukung.
Pemuda itu juga tidak tinggal diam dan berusaha menyampaikan pendapatnya
terkait aksinya saat shalat isya tadi. Kemudian imam yang masih berada di depan
berzikir dengan sedikit meninggikan suaranya dengan maksud menenangkan kedua
belah pihak yang berdebat itu.
Setelah berdoa dan
shalat sunnah ba'diah perdebatan kembali terjadi masih di dalam masjid, kali
ini melibatkan banyak orang diantaranya “para sesepuh” di masjid itu dan hampir
semua mendukung puang yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan aksi pemuda itu,
para jamaah dengan segera membentuk lingkaran tidak ketinggalan imam shalat
tadi. Si pemuda dengan istiqomahnya mempertahankan argumennya, belum sempat
menyelesaikan argumen tersebut, kemudian dari kubu Pro Puang melancarkan terus
aksi protesnya terhadap si pemuda, perdebatan sengit pun terjadi. Saya lebih
memilih memperhatikan perdebatan tersebut dan berdiri di garis tak berpihak.
Kubu pro Puang
memandang si Pemuda sebagai orang yang “salah” dan berbeda aliran dengan
mereka, namun si Pemuda yang hanya seorang diri tetap pada pendiriannya bahwa
aksinya tadi tidaklah salah karena ia meluruskan bacaan imam dan tidak ada
bedanya dengan meluruskan bacaan ayat-ayat pendek yang di baca imam setelah
membaca Surah Al Fatihah sambil menyodorkan selebaran berisi bacaan-bacaan
shalat dan mencoba meyakinkan orang-orang yang tidak sepaham bahwa ia dan
jamaah lainnya sesama muslim dan bukan dari aliran manapun. Si Pemuda berulang
kali meminta maaf kepada para “sesepuh masjid” sebagai tanda menghormati mereka
karena bagaimanapun yang muda tetap menghormati yang tua walau berseberangan
pendapat. Dan saya menilai si Pemuda tersebut sebagai orang paham dengan
persoalan semacam ini dan berada pada koridor yang benar, hanya saja
orang-orang yang belum paham itu bersikeras dengan pendapat mereka seakan hati
mereka membatu untuk menerima kebenaran.
Dari kejadian itu, Saya jadi teringat dengan
kisah Perang Badar dimana kaum muslimin pada saat itu berada di pihak yang
benar dan orang kafir di pihak yang salah. Jumlah kaum muslimin sangatlah
sedikit dibanding dengan kaum kafir tetapi terjadi adalah kemenangan yang
diraih oleh kaum muslimin yang sedikit itu. kemudian dari perdebatan di masjid
tadi memberikan gambaran kemenangan berada pada pemuda tersebut, permohonan
maaf sebagai tanda kerendahan hati dan upaya untuk meluluhkan hati orang-orang
yang kontra terhadapnya. Secara kasat mata kemenangan itu tidak nampak, tapi
pemuda itu berhasil memenangkan hati orang-orang yang kontra tersebut dan
pertemuan itu di akhiri dengan canda-tawa dan salam-salaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar