PLaNol09i

Selamat Datang

Biasakan MEMBACA setiap hari walau sedikit..!!!

Selamat membaca!!!

Kamis, 09 Agustus 2012

REKLAMASI DAN REVITALISASI DI INDONESIA


1.              REKLAMASI DAN REVITALISASI DI ODAIBA, JEPANG
Gambar 2.2 Reklamasi dan Revitalisasi di Jepang
                Odaiba merupakan kawasan bisnis dan wisata elit yang berlokasi di tepi pantai Teluk Tokyo dibuat dengan reklamasi pantai dari timbunan sampah yang telah diolah sedemikian rupa. Kini, Odaiba menjadi salah satu tujuan wisata Tokyo yang menjaring setidaknya 37 juta pengunjung setiap tahun.
            Selain menjadi pusat bisnis dan wisata elit, Odaiba juga menjadi lokasi berbagai museum. Dari museum kapal sampai museum sains yang memamerkan Robot Asimo, robot pertama di dunia yang bisa berjalan sempurna dengan dua kaki dan bisa menari.
            The land of trash ini bahkan sempat masuk nominasi lokasi pelaksanaan Olimpiade 2016 yang diumumkan pada 4 Juni 2008. Saingannya adalah Chicago (Amerika Serikat), Madrid (Spanyol), dan Rio de Janeiro (Brasil). Ini tentu sebuah prestasi, meskipun dalam voting akhir yang dilakukan International Olympic Committee pada 2 Oktober 2009, Rio de Janeiro yang keluar sebagai pemenang.
 
2.              REKLAMASI DAN REVITALISASI DI PANTAI UTARA JAKARTA
Gambar 2.3 Revitalisasi dan Revitalisasi di Pantai Utara, Jakarta
            Proyek Reklamasi Pantura adalah proyek penimbunan laut di depan garis pantai Jakarta pada areal sepanjang 32 km dengan lebar rata-rata 2 km sampai kedalaman 8 m dengan kebutuhan bahan urugan sebanyak 330 juta m3, sehingga menghasilkan lahan baru seluas 2700 ha. Reklamasi ini dimulai dari perairan sebelah barat Pelabuhan Tanjung Priok dan berakhir di Kawasan Kamal. Bahan material urugan akan diambil dari bahan-bahan yang cocok dengan kondisi material pantura DKI Jakarta yang mencakup material urugan laut, material urugan daratan, material pasir dan material tanah.
            Disamping itu akan dilakukan pula Revitalisasi di atas pantai Jakarta yang lama pada areal seluas 2500 ha. Di atas lahan hasil reklamasi ini akan dibangun berbagai pusat bisnis dan jasa (perkantoran, hotel, areal wisata dan pusat perdagangan) dengan penambahan penduduk diperkirakan mencapai lebih kurang 1.750.000 orang.
            Mimpi dari proyek ini adalah menjadikan kota Jakarta sebagai service city dengan fasilitas pusat perdagangan dan perkantoran waterfront city-nya laksana yang dikembangkan di Clark Quay - Singapura atau Hongkong. Sehingga kawasan pantura DKI Jakarta akan meningkat kualitas lingkungannya; terjadi proses subsidi silang antara kawasan reklamasi terhadap kawasan yang direvitalisasi; diterapkannya model manajemen pembangunan baru; tertatanya kawasan pesisir yang lestari; optimalisasi lahan untuk industri, perkantoran, pusat bisnis, perikanan dll; terbangunnya pusat bisnis bertaraf internasional.
            Perusahaan swasta yang memenangkan tender proyek yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut yaitu PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propretindo, PT Manggala Krida Yudha, PT Bakti Bangun Era Mulia, dan PT Taman Harapan Indah.
3.              REGULASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN AKTIVITAS REKLAMASI
Upaya pengendalian dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup dilakukan berdasarkan peratutan perundang-undangan sebagai berikut :
1.      Pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai (Peraturan Menteri PU No. 4/PRT/M/2007) yang mencakup penjelasan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan reklamasi, yaitu aspek fisik, ekologi, sosial ekonomi dan budaya, tata lingkungan dan hukum, aspek kelayakan, perencanaan dan metode yang digunakan. Pedoman ini juga memberikan batasan, persyaratan dan ketentuan teknis yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat melakukan reklamasi pantai.
2.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal.
3.      Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4.      Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang merupakan guide line bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan menata wilayahnya dalam satu-kesatuan matra ekosistem,
5.      Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan wilayah pesisir diatur secara komprehensif mulai dari perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian.
6.      Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa, raga, harta sehingga ancaman bencana yang ada di wilayah pesisir dapat diminimalisir.

4.             PENERAPAN REKLAMASI DAN REVITALISASI PANTURA DI JAKARTA
Gambar 3.2 Reklamasi di Indonesia
            Secara singkat pro dan kontra penerapan reklamasi dan revitalisasi di  pantura Jakarta dapat dijelaskan dari kronologi hukum berikut :
1.      Rencana pengembangan reklamasi pantai di kawasan Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha dilaksanakan berdasarkan Keppres nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.  Keppres tersebut mengamanatkan untuk dilakukan kajian dan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup baik  dampak kegiatan reklamasi dan dampak atas kegiatan pengambilan  tanah sumber/ bahan reklamasi yang akan digunakan dalam pelaksanaan reklamasi.
2.      Berdasarkan amanat Keppres No.52 Tahun 1995 dan PP No.27 Tahun 1999, maka disusunlah AMDAL Regional yang dinilai oleh Komisi AMDAL Pusat.  Hal ini sesuai dengan amanat PP No.27 Tahun 1999 yang menyatakan apabila kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi, maka dinilai oleh Komisi AMDAL Pusat.
3.      Hasil pembahasan kajian AMDAL Regional Rencana Reklamasi dan revitalisasi Pantura telah dinyatakan ditolak melalui Kepmenlh nomor 14 tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantura. Keputusan ini ditentukan atas dasar hasil penilaian terhadap studi AMDAL yang disampaikan, mengingat :
a.       Proyek ini akan meningkatkan potensi dan intensitas banjir di Jakarta. Hal ini tidak dapat ditolerir karena banjir di Jakarta saat ini (seperti yang terjadi pada tahun 2002) belum dapat terselesaikan dengan tuntas.
b.      Proyek ini akan membutuhkan bahan urugan sebanyak 330 juta m3. Apabila bahan ini diambil dari pedalaman maka akan terjadi dampak di pedalaman dan dampak dari pengangkutan bahan urugan tersebut (diperlukan sekitar 33 juta rit truk membawa bahan urugan). Bila bahan urugan diambil dari pasir sepanjang pantai maka akan terjadi kerusakan pantai dari daerah Losari, Indramayu di sebelah timur sampai pada kawasan Pandeglang, Banten di sebelah barat, pada areal seluas 170 ribu hektar. Hal ini akan memiskinkan masyarakat nelayan di sepanjang pantai tersebut. Disamping itu, apabila urugan itu diambil dari dasar laut, akan menghancurkan ekosistem laut dan pola arus laut, mengakibatkan hancurnya pantai dan pulau-pulau di sekitarnya. Keberadaan kawasan baru ini juga akan menimbulkan pola arus yang menghancurkan pantai dan pulau-pulau
sekitar.     
c.       Tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah dari kawasan utara Jakarta khususnya para nelayan yang harus hidup relatif lebih jauh dari sumber mata  pencahariannya.
d.      Dampak-dampak lainnya adalah menurunnya kemampuan pembangkit listrik di Jakarta, ketersediaan air bersih dan lain-lain.
e.       Melalui Kepmen tersebut, Menteri LH mewajibkan kepada semua instansi untuk menolak permohonan izin kegiatan dan/atau usaha yang terkait atau berada dikawasan reklamasi pantura.
4.      Dengan diterbitkannya kepmenlh tersebut,  6 pengusaha yang tergabung dalam konsorsium pengembang pantura mengajukan gugatan PTUN atas kepmenlh tersebut. Karena keenam perusahaan tersebut telah membuat MOU/Kesepakatan, perjanjian dengan Badan Pelaksana Pantura tentang pelaksanaan Reklamasi Pantura, dengan adanya SK MENLH No. 14 Tahun 2003 maka ijin melakukan reklamasi mengalami hambatan sehingga pihak penggugat merasa dirugikan. Pada persidangan tahap pertama di PTUN Jakarta dan tahap banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, KEPMENLH No.14 Tahun 2003 tersebut telah dibatalkan. Menlh mengajukan permohonan Kasasi pada tahun 2006. Pada Tahapan KASASI, Mahkamah Agung setelah mempelajari berkas perkara gugatan TUN di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, mengadili dan memutuskan mengabulkan permohonan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta nomor 75/G.TUN/2003/PTUN-JKT dan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta nomor 202/B/2004/PT.TUN-JKT.
5. Berdasarkan putusan MA ini maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta dinyatakan BERLAKU. 
6.      Dengan berlakunya kembali kepmenlh tersebut, maka yang menjadi diktum dalam Kepmenlh harus dijalankan oleh instansi terkait. Dengan kata lain, instansi terkait wajib menolak pengajuan izin kegiatan dan/atau usaha yang terkait dan/atau termasuk dalam rencana kegiatan reklamasi pantura. Hal ini sesuai dengan pasal 18 UU No.23 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL untuk memperoleh izin usaha. Terlebih lagi, dengan berlakunya UU No.32 Tahun 2009 yang mensyaratkan dimilikinya izin lingkungan yang berasal dari kelayakan AMDAL untuk memperoleh izin usaha. Maka upaya hukum yang harus dilakukan oleh KLH terhadap pemerintah daerah yang tetap mengizinkan atau membiarkan kegiatan dan/atau usaha berlangsung dikawasan Pantura tanpa dilengkapi oleh kajian AMDAL yang sesuai dengan ketentuan dan tidak dengan melawan hukum (dilakukan di kawasan yang sah/legal)  yaitu:
a.       Meminta kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk menghentikan kegiatan yang berada di lokasi reklamasi, sampai pemrakarsa dapat memenuhi  isu-isu terkait pengelolaan lingkungan hidup  yang ketika pembahasan AMDAL tahun 2003 tidak mampu dijawab oleh pemrakarsa; atau
b.      Berdasarkan pasal 84 UU No.32 Tahun 2009 yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan, dan pasal 90 UU No.32 Tahun 2009 yang mengatur mengenai hak gugat Pemerintah, maka dimungkinkan untuk diajukan penyelesaian sengketa antara KLH dan Pemerintah DKI Jakarta, dengan penyelesaian melalui mediasi atau perundingan untuk menghasilkan win-win solution bagi semua pihak terkait.
c.       Untuk izin-izin yang telah diterbitkan sepanjang bergulirnya gugatan ini harus dihentikan dan permohonan izin baru wajib ditolak. Semua kegiatan dan hasil kegiatan yang bertentangan atau dilakukan dengan melawan hukum menjadi illegal.
      Untuk memenuhi kebutuhan lahan seperti yang disarankan dalam rencana reklamasi, maka saran dari KLH adalah :
a.       Melaksanakan program revitalisasi pantai lama tanpa disertai kegiatan reklamasi
b.      Menggunakan lahan yang tersedia di Provinsi Banten yang berdampingan dengan Provinsi DKI Jakarta dan mempunyai sarana transportasi langsung dengan Jakarta
      Bagaimanapun, suatu kota, walaupun sebuah metropolitan sekalipun, harus dapat hidup saling bergantung satu dengan yang lain dengan daerah-daerah sekitarnya. Tidak mungkin semua kebutuhan DKI Jakarta dipenuhi oleh DKI Jakarta sendiri.
7.      Meskipun Mahkamah Agung mengabulkan Kementerian Lingkungan Hidup yang mengharuskan penghentian reklamasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap akan melanjutkan proses reklamasi. Proses reklamasi yang dilakukan DKI mengacu pada UU Penataan Ruang Nomor 26/2007 dan Peraturan Presiden No 54/2008 tentang penataan ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur yang lebih tinggi daripada keputusan menteri lingkungan hidup sehingga keputusan Menteri Lingkungan Hidup tidak bisa menghentikannya. Dasar hukum yang digunakan Menteri LH pada saat melakukan penilaian berbeda dengan peraturan perundangan yang ada saat ini. Dengan demikian, Kepmen LH No. 14/2003 dinilai tak relevan lagi dengan proses reklamasi yang akan dikerjakan saat ini.
8.      Reklamasi yang ditolak Menteri LH oleh Kepmen LH No 14/2003 ternyata diizinkan Presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2008. Artinya, jika Pemprov DKI menuruti persyaratan yang ada dalam Perpres No 54/2008, reklamasi bisa dilanjutkan. Dua persyaratan utama itu adalah adanya amdal regional yang disetujui pemerintah pusat dan proses reklamasi tidak memperpanjang pantai, tetapi berbentuk pulau terpisah dari daratan. Konsep reklamasi ini berbeda dengan konsep yang disusun enam perusahaan tahun 2000. Namun Pemprov DKI sudah menyesuaikan konsep reklamasi yang baru dengan yang dipersyaratkan Perpres No 54/ 2008. Konsep reklamasi dengan bentuk pulau-pulau terpisah dari daratan Jakarta sudah berulang kali dibahas dan dimatangkan Pemprov DKI dan perusahaan swasta yang akan melaksanakannya. Dengan konsep itu, muara sungai tak akan diperpanjang sehingga tak ada risiko banjir di dalam kota akibat melambatnya aliran air sungai.
5.              PERBEDAAN PENERAPAN REKLAMASI DAN REVITALISASI PANTURA DAN ODAIBA
                Berbeda dengan Jepang, Indonesia (khususnya Jakarta) masih memiliki banyak masalah dalam penerapan reklamasi pantura di Jakarta. Perbedaan sudut pandang, birokrasi yang kurang bersih dan kurangnya profesionalitas dalam perencanaan dan persiapan pelaksanaannya, menimbulkan berbagai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
            Dari segi filler (bahan pengisi daerah reklamasi), di Odaiba memanfaatkan material berupa sampah. Sampah yang dimanfaatkan adalah sampah yang sudah melewati proses penyaringan. Dimana penyaringan yang dilakukan sudah dimulai dari sektor yang terkecil, yaitu rumah tangga , dengan cara membagi sampah menjadi 4 kategori. Sampah yang benar-benar tidak bisa di ricycle/reuse dikirim ke krematorium sampah atau yang disebut incinerator, kemudian akan dibakar pada suhu tinggi mencapai  2000 derajat Celcius. Sampah hasil pembakaran incinerator ini akan berbentuk padatan seperti batu yang memiliki berbagai ukuran. Bahan padatan inilah yang kemudian dijadikan bahan untuk reklamasi pantai.
            Dari segi lahan yang terbentuk di revitalisasi dengan dibuat tata ruang dan perencanaan detailnya dengan sangat luar biasa. Di atas permukaan tanah dibuat konsep perbandingan kawasan buatan dan kawasan alamiah dengan perbandingan 50:50 artinya kawasan hijau dan kawasan terbuka harus sedikitnya mencapai 50% dari seluruh kawasan. Dengan tata kota seperti itu, udara di kawasan Odaiba menjadi luar biasa segar.
            Berbeda dengan Indonesia, penggunaan sampah sebagai material filler merupakan kemungkinan yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan persoalan sampah di Indonesia belum dipandang sebagai wilayah investasi pemerintah, tapi merupakan overhead cost karena pengelolaan sampah sama sekali tidak menghasilkan return. Disamping itu, pengelolaan sampah juga dikelola dengan teknologi kuno, atau mungkin bukan teknologi karena hanya merupakan pengumpulan dan pemindahan sampah dengan cara sederhana dan dilaksanakan dalam tempo yang masih lambat. Disamping itu, juga adanya kelemahan manajemen pengelolaan sampah khususnya dan pengelolaan pemerintahan pada umumnya akibat paradigma pemerintahan yang tidak mengenal prinsip-prinsip entrepreneurship.
            Oleh karena itu, untuk kegiatan reklamasi di Indonesia masih berfokus dengan menggunakan material pasir atau material yang merupakan bagian dari bumi. Hal ini sama saja seperti melakukan gali tutup lubang. Dimana di satu daerah akan mengalami penambahan lahan, sedangkan di daerah lainnya akan mengalami pengurangan lahan, sehingga sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem di masing-masing daerah tersebut. Saat ini asal muasal material filler yang akan digunakan dalam kegiatan reklamasi pantura masih dalam tahap perbincangan Pemerintah Pemprov DKI. Sedangkan, Bersumber dari saran KMNLH, filler yang akan digunakan berasal dari lahan di Provinsi Banten.
            Untuk revitalisasi di Pantura, juga sudah direncanakan dengan matang. Di atas lahan hasil reklamasi ini akan direvitalisasi berbagai pusat bisnis dan jasa (perkantoran, hotel, areal wisata dan pusat perdagangan) dengan penambahan penduduk diperkirakan mencapai lebih kurang 1.750.000 orang.
 
6.             KESIMPULAN
a.       Aplikasi penanganan reklamasi pantai untuk tujuan pemulihan ekosistem formasi pantai, pada dasarnya dilakukan melalui tahapan kegiatan rekontruksi lahan dan manajemen top soil, revegetasi lahan pasca tambang, dan penerapan teknik silvikultur.
b.      Odaiba merupakan contoh kota di Jepang yang berhasil menerapkan sistem reklamasi dan revitalisasi dengan menggunakan filler berupa hasil olahan sampah.
c.       Terdapat banyak pro dan kontra dalam pelaksanaan  Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta, seperti munculnya Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
d.      Pemprov DKI sudah menyesuaikan konsep reklamasi yang baru dengan yang dipersyaratkan pada Perpres No 54/ 2008, yaitu konsep reklamasi dengan bentuk pulau-pulau terpisah dari daratan Jakarta Dengan konsep ini, muara sungai tak akan diperpanjang sehingga tak ada risiko banjir di dalam kota akibat melambatnya aliran air sungai.
e.       Berbeda dengan Jepang (Odaiba), Indonesia masih belum mampu dalam memanfaatkan sampah sebagai filler dalam kegiatan reklamasi.
7.            SARAN
a.       Disarankan agar selalu menggunakan sudut pandang yang sama, birokrasi yang bersih dan tenaga professional dalam perencanaan dan persiapan pelaksanaan suatu reklamasi.
b.      Pemilihan material filler yang tepat dan cerdas akan memberikan tingkat efesiensi yang tinggi dalam pelaksanaan suatu reklamasi, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan.
c.       Setiap sengketa sewajarnya diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku, agar pihak-pihak lain yang tidak terlibat dalam kasus itu juga bisa memahami dengan mudah.
Ditulis Oleh :
Ganjar Setyawan C.
I Kadek Bagus Widana Putra
Kartini Halief
Thanks to :
Dr. Ruswandi
Universitas Gunadarma 
 
 

sumber: http://pustaka-ts.blogspot.com/2012/06/contoh-reklamasi-dan-revitalisasi.html

Mengenal Konsep Pengembangan Waterfront




Mungkin kita masih awam mendengar istilah Waterfront Development kita pasti lebih mengenal istilah Green Development atau Green Property. Waterfront Development adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian “waterfront” dalam Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003).

Istilah Waterfront Development sebenarnya sudah lama di pakai untuk pengembangan beberapa kawasan perkotaan yang berada di dekat tepi air. Konsep pengembangan ini sudah di pakai oleh beberapa negara maju dan berkembang antara lain : Amerika serikat, Dubai, dan beberapa negara Eropa dan Asia lainnya. Pengembangan kawasan tepi air ini sebenarnya sudah mulai di kembangkan sejak tahun 1980 dan bermula di wilayah negara Amerika.

Pengembangan di Amerika serikat sendiri bermula dari pengembangan kawasan pelabuhan yang sudah tidak aktif lagi. Kawasan pelabuhan tersebut kemudian di ubah menjadi kawasan bisnis, hiburan bahkan permukiman. Sehingga lahan pelabuhan yang sudah tidak aktif menjadi lebih optimal.

Kini di Indonesia sendiri sedang dikembangkan pula Waterfront Development. Beberapa daerah sudah mulai mengembangkan daerahnya dengan konsep Waterfront Development antara lain : Manado, Makasar, serta beberapa daerah lain yang memiliki daerah tepian air. Melihat kondisi Indonesia sendiri yang notaben nya adalah negara kepulauan maka pantas jika daerah – daerah yang dekat dengan tepian air mengembangkan wilayahnya dengan acuan Waterfront Development karena selain mngoptimalkan lahan juga dapat menjadi area bisnis serta rekreasi tersendiri. Dengan begitu maka pemasukan daerah pun akan tetap terpenuhi.

Jenis – jenis Waterfront

Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).

- Konservasi
Adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.

- Redevelopment
Adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas - fasilitas yang ada.

- Development
Adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai.


Fungsi Waterfront

Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

- Mixed Used Waterfront
Adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan.

- Recreational Waterfront
Adalah adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar.

- Residential Waterfront
Adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan

- Working Waterfront
Adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan.

Kriteria - kriteria Waterfront

Dalam menentukan suatu lokasi terebut waterfront atau tidak maka ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak. Berikut kriteria yang ditetapkan :

- Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya).
- Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata.
- Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan.
- Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.
- Pembangunannya dilakukan ke arah vertikalhorisontal

Aspek- aspek yang Menjadi Dasar Perancangan Konsep Waterfront Development

Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).

a. Faktor Geografis
Merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
- Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya.
- Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.

b. Konteks perkotaan (Urban Context) Adalah merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:

- Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik.

- Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.

- Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.

- Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.

Perencanaan Waterfront Development di Indonesia

Dilihat dari prospek waterfront development sendiri sangat cocok dikembangkan di Indonesia melihat topografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Kini konsep tersebut sudah banyak direncanakan oleh beberapa daerah antara lain:

- Manado
- Makasar
- Jakarta (Pantai Indah Kapuk dan Ancol)
- Pekan Baru

Kota – kota tersebut dalam pengembangan wilayahnya mencoba menerapkan konsep “Waterfront Development” melihat kedepan perencanaan pengembangan wilayah dengan menggunakan model tersebut memiliki potensi besar. Karena mencoba memanfaatkan potensi tepian danau, sungai ataupun lautan. Pengembangan ini nantinya akan meningkatkan minat pengunjung dari dalam maupun luar negeri ke daerah – daerah yang menerapkan Waterfront Development dengan begitu maka akan meningkatkan PAD daerah tersebut.


Pengembangan Fungsi Kawasan Yang Dapat Diterapkan

Di dalam Waterfront Development ada beberpa fungsi yang dapat diterapkan sehingga pengembangannya dapat berfungsi secara ekonomis dan efektif. Antara lain :

● Sebagai Kawasan Bisnis

Di dalam “Waterfront Development” dapat dikembangkan sebagai kawasan bisnis sebagai contoh di Canary Wharf salah satu bagian kawasan “London Docklands”. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung - gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat bisnis.

Foto : propertyinvesting.net

● Sebagai Kawasan Hunian
Di dalam “Waterfront Development” dapat diterapkan pengembangan kawasan hunian di tepi air. Pengembangan hunian di tepi air tentunya harus melihat kondisi airnya tersebut pastinya airnya tidak berbau dan kotor karena jika terbangun hunian di lokasi tersebut dengan kondisi air yang buruk maka produk huniannya akan sulit terjual ataupun terhuni. Dalam pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun produk rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat dilihat di daerah Port Grimoud - Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian bertingkat.



Foto : Villafleuron.com
● Sebagai Kawasan Komersial dan Hiburan
Di dalam “Waterfront Development” dapat pula dikembangkan sebagai kawasan komersial ataupun hiburan. Dengan kondisi air yang baik dan tidak berbau maka kawasan tersebut terjamin akan banyak di singgahi pengunjung. Selain itu pula dapat juga dibanguna area terbuka (plaza) di kawasan tersebut. Waterfront dengan konsep sebagai kawasan komersial dan hiburan ini pastinya akan sanagat digemarai oleh masyarakat perkotaan.


sumber : http://propertybusinessacademy.com/content/home/home_news/9

Konsep Pembangunan Waterfront Development


Konsep ini berawal dari pemikiran seorang ‘urban visioner’ Amerika yaitu James Rouse di tahun 1970an. Saat itu, kota-kota bandar di Amerika mengalami proses pengkumuhan yang mengkhawatirkan. Kota Baltimore merupakan salah satunya. Karena itu penerapan visi James Rouse yang didukung oleh pemerintah setempat akhirnya mampu memulihkan kota dan memulihkan Baltimore dari resesi ekonomi yang dihadapinya. Dari kota inilah konsep pembangunan kota pantai/pesisir dilahirkan.

Waterfront Development adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian “waterfront” dalam Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Waterfront Development juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi  ke arah perairan. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya.


Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai, danau) yang potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis yang terlindung dari hantaman gelombang dan serangan musuh. Perkembangan selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan waterfront.

Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air sungai terhadap air tanah, serta merupakan daerah rawa sehingga run off air rendah. Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air. Secara tata guna lahan kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif antara air dan elemen perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin dan suhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang berorientasi ke air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagai transportasi utama, merupakan kawasan terbuka (akses langsung) sehingga rawan terhadap keamanan, penyelundupan, peyusupan (masalah pertahanan keamanan) dan sebagainya.


Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami. Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront city).




Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air
Sumber: Sastrawati, 2003


Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan. Variabel penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif) kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003).

Jenis – Jenis Waterfront

Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
  • Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. 
  • Pembangunan Kembali (redevelopment) adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada.
  • Pengembangan (development) adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai.
 Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
1.      mixed-used waterfront,  adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan.
2.      recreational waterfront, adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar.
3.      residential waterfront,  adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan.
4.      working waterfront, adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan.  (Breen, 1996).

Kriteria - Kriteria Waterfront 


Dalam menentukan suatu lokasi tersebut waterfront atau tidak maka ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak.


Berikut kriteria yang ditetapkan :
- Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya).
- Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata.
- Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan.
- Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.
- Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal

Aspek- Aspek yang Menjadi Dasar Perancangan Konsep Waterfront Development

Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989). 

a. Faktor Geografis 
Merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
- Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya. 
- Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan. 

b. Konteks perkotaan (Urban Context)

merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah: 
  • Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik. 
  • Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan. 
  • Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.
  • Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.


Penerapan Waterfront Development di Indonesia

Penerapan waterfront development di Indonesia telah dimulai pada zaman penjajahan Kolonial Belanda di tahun 1620. Pembangunan konsep waterfront di terapkan oleh para penjajah yang menduduki Jakarta atau Batavia saat itu untuk membangun suatu kota tiruan Belanda yang dijadikan sebagai tempat bertemunya dalam lalu lintas perdagangan.  Penataan Sungai Ciliwung saat itu semata-mata hanya untuk kelancaran lalu lintas semata.
Pada zaman Indonesia merdeka, pembangunan yang berbasis kepada paradigma kelautan sudah didengung-dengunkan sejak terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan di Tahun 1999 yang lalu. Pemicunya adalah kesadaran atas besarnya potensi kelautan dan perikanan perairan Indonesia yang secara laten terus menerus mengalami penjarahan oleh negara tetangga. Selain itu mulai berkurangnya pemasukan negara dari sektor hasil hutan dan tambang juga mejadi pemicu.
Fakta menunjukkan, bahwa sekitar 60% dari populasi dunia berdiam di kawasan selebar 60 km dari pantai dan diperkirakan akan meningkat menjadi 75% pada tahun 2025, dan 85% pada 2050. Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sendiri menyebutkan bahwa sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi air (Waterfront) [Adisasmita, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau – pulau Kecil, 2006. Pedoman Kota Pesisir]

Banyaknya jumlah kota yang berada di daerah pesisir dapat menimbulkan beberapa permasalahan pada kota itu, jika tidak di tata dengan baik. Permasalahan yang dapat ditimbulkan yaitu pencemaran, kesemerawutan lingkungan, dan sampah. Kekumuhan lingkungan tersebut juga dapat menimbulkan masalah kriminalitas didaerah tersebut. Oleh karena itu, pembangunan kota pesisir di Indonesia harus memecahkan permasalahan tersebut. Penerapan Waterfront City di berbagai kota di Indonesia diharapkan mampu untuk memecahkan permasalahan yang timbul akibat tidak tertatanya kota-kota pesisir yang ada.

Beberapa kota di Indonesia yang sudah menerapkan konsep pembangunan ini, yaitu :


Jakarta
Kawasan Ancol Mansion

Perencanaan dan pengembangan waterfront city di Jakarta yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan. Sebagai contoh pembangunan hunian baru di kawasan Ancol yang juga berfungsi sebagai sarana hiburan dan wisata.


Manado










      
Penggunaan konsep waterfront city di Manado telah di terapkan pada area pesisir Pantai Boulevard Manado sebagai kawasan Hiburan, Wisata, Ekonomi. Dan di daerah Sungai Tondano untuk menata kembali pemukiman yang ada, menjaga kelestarian sungai serta mampu meminimalisirkan pencemaran Sungai Tondano.


Makasar



Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap menginginkan positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota sebagai kota maritime, jasa, niaga, pendidikan serta budaya. Penerapan waterfront city dapat dilihat pada penataan Pantai Losari.


Banjarmasin
     
Penggunaan konsep waterfront city di Kota Seribu Sungai yaitu Banjarmasin dilakukan dengan tujuan menjaga kelestarian budaya masyarakat Pasar Terapung di Sungai Barito, menata kembali pemukiman, yang menempatkan sungai sebagai halaman belakang. Memaksimalkan potensi sungai sebagai jalur transportasi, juga sebagai objek tujuan wisata.


Surabaya


     
Pembangunan Teluk Lamong di Surabaya juga menggunakan konsep Waterfront City. Rencana pengembangan pelabuhan Tanjung Perak yang ada diteluk tersebut juga untuk mengantisipasi terjadinya overload di Pelabuhan tersebut. Lamong Bay Port akan dibangun dengan menggunakan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan-pelabuhan modern Jepang. Selain sebagai pelabuhan, Lamong Bay akan dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata. Pembangunan Lamomg Bay sebagai upaya mengembalikan jati diri Surabaya Waterfront City sebagai kota maritim dan mampu bersaing dengan pelabuhan Singapore Port Authority atau Tanjung Lepas di Malaysia.


Palembang
                
Perencanaan kawasan waterfront city di Kota Palembang sendiri bertujuan untuk revitalisasi dan preservasi kawasan dan bangunan bersejarah dari peninggalan kolonial serta bangunan kuno asli masyarakat, Central Business District sebagai urat nadi pertumbuhan kota, Sungai Musi sebagai waterfront  pengembangan wisata dan transportasi air.

Penerapan Waterfront Development di Berbagai Negara

Penerapan waterfront development di kota-kota negara maju dapat juga dijadikan referensi dalam perencanaan waterfront development bagi kota-kota di Indonesia. Di negara maju perencanaan dan pengembangan waterfront development didasarkan pada berbagai konsep sesuai dengan kondisi sosio-kultur, kemampuan teknologi dan ekonomi, kebutuhan kotanya masing-masing serta memaksimalkan fungsi pembangunan yang diterapkan sehingga pengembangannya dapat berfungsi secara ekonomis dan efektif.

Pengembangan fungsi kawasan yang dapat di terapkan pada konsep waterfront development, yaitu :


Sebagai Kawasan Bisnis



Di dalam “Waterfront Development” dapat dikembangkan sebagai kawasan bisnis sebagai contoh di Canary Wharf salah satu bagian kawasan “London Docklands”. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung - gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat bisnis


Sebagai Kawasan Hunian



Di dalam “Waterfront Development” dapat diterapkan pengembangan kawasan hunian di tepi air. Pengembangan hunian di tepi air tentunya harus melihat kondisi airnya tersebut pastinya airnya tidak berbau dan kotor karena jika terbangun hunian di lokasi tersebut dengan kondisi air yang buruk maka produk huniannya akan sulit terjual ataupun terhuni. Dalam pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun produk rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat dilihat di daerah Port Grimoud - Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian bertingkat.


Sebagai Kawasan Komersial, Hiburan dan Wisata

Di dalam “Waterfront Development” dapat pula dikembangkan sebagai kawasan komersial, hiburan dan wisata. Dengan kondisi air yang baik dan tidak berbau maka kawasan tersebut terjamin akan banyak di singgahi pengunjung. Selain itu pula dapat juga dibanguna area terbuka (plaza) di kawasan tersebut. Waterfront dengan konsep sebagai kawasan komersial dan hiburan ini pastinya akan sangat digemarai oleh masyarakat perkotaan. Sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan di daerah tersebut.


Kota San Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront city modern yang dapat mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront city di pusat kota ini yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di Texas.







Positano di Italia

Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang fungsi dan skalanya.






Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota, Vaporeti(bus air)sampai angkutan pencampur  beton, seluruhnya menggunakan jalur air.







Tepian Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial, industri, residensial dan rekreasi.



Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing kota – kota di Indonesia dan beberapa contoh dari negara-negara maju tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan seluruh masyarakat diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Ketiga aspek ini harus mendapat perhatian yang sama sesuai dengan peran dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan waterfront city. Sehingga konsep ini benar-benar memberi dampak pada masyarakat di daerah pembangunannya. 

Penerapan tiga aspek dalam waterfront development yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan jelas menunjukkan bahwa konsep ini adalah sebuah konsep yang menjunjung tinggi konsep Sustainable Development atau Pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya di masa mendatang. (1987, Bruntland Report). Karena itu konsep ini perlu dan sangat penting untuk diterapkan di kota-kota di Indonesia sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan secara khusus Indonesia dan secara umum berdampak juga bagi kelestarian seluruh bumi ini.

PUSTAKA :
- Critical Review: Konsep Perencanaan Kawasan Pesisir “Waterfront City” di Kota-Kota Indonesia oleh Deny Ferdyansyah (http://onlyone-deny.blogspot.com)
- Isu Pengembangan Kota Pesisir oleh Deny Ferdyansyah (http://onlyone-deny.blogspot.com)
- Menata Kawasan Tepian Musi Sebagai Wajah Kota Palembang oleh Redaksi Butaru (http://bulletin.penataanruang.net)
- Mewujudkan Pembangunan Kota Pesisir di Indonesia yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastruktur Berbasis Penataan Ruang oleh Ir. Joessair Lubis (http://bulletin.penataanruang.net)
- Waterfront City Banjarmasin, sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota oleh Raditya PU (http://bulletin.penataanruang.net)
- Visi Pembangunan Waterfront City Suatu Tinjauan Budaya oleh Ir. Martono Yuwono (http://bulletin.penataanruang.net)
- Mengenal Konsep Pengembangan Waterfront (http://propertybusinessacademy.com)
- Ekspedisi Sungai Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas, 2009
- http://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/


sumber: http://stefantepz.blogspot.com/2012/02/konsep-pembangunan-waterfront.html